Kenalkan Ahmad Wahib ke Masyarakat
Malang, Indonesia.
"...insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis, dan kreatif." Ahmad Wahib (1942-1973)
AHMAD Wahib
lahir di Sampang, Madura, pada 1942. Wahib tumbuh dewasa dalam
lingkungan yang kehidupan keagamaannya sangat kuat. Ayahnya adalah
seorang pemimipin pesantren dan dikenal luas dalam masyarakatnya.
Wahib
adalah seorang Muslim yang berkomitmen. Segera setelah tiba di
Yogyakarta, ia menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang
Universitas Gadjah Mada.
Pembahasan-pembahasan
seputar ideologi dalam forum HMI menimbulkan ketertarikan kepada
persoalan-persoalan yang lebih umum, seperti persoalan apa sebenarnya
yang dimaksud dengan istilah “ideology Islam”? Apakah Islam, dalam
kenyataannya, adalah sebuah ideologi?
Selain
itu, Yogyakarta adalah salah satu kota yang secara intelektual dan
budaya paling kaya di Indonesia. Ini berperngaruh dalam perkembangan
pribadi Wahib. Yogyakarta adalah kota lembaga-lembaga pendidikan.
Ada dua hal yang secara desisif sangat menentukan
perkembangan pribadi Wahib. Pertama adalah komunitas Jesuit lokal yang
ia gauli ketika ia menyewa sebuah kamar kecil di hostel
mahasiswa-mahasiswa Katolik. Kedua
keterlibatannya dalam kelompok studi yang dipimpin oleh Mukti Ali,
seorang Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga dan mantan Menteri Agama RI.
Mukti
Ali, menyatakan bahwa kelompok studi tersebut
menarik perhatian banyak peserta. Kelompok tersebut juga secara reguler
mengundang pembicara-pembicara tamu dari berbagai kalangan, baik orang
Indonesia maupun bukan.
Masa-masa
Wahib di Yogyakarta adalah masa-masa yang paling bergolak dalam sejarah
Indonesia. Inilah masa ambruknya ekonomi Indonesia dan terjadinya
ketegangan-ketegangan politik yang berujung dengan usaha kup oleh PKI
pada masa 1965.
Semua
unsur di atas (latar belakang keluarga, penyesuaian diri dengan
lingkungan baru, dengan konsekuensi meluasnya horizon berfikir secara
dramatis, tekanan-tekanan baik bersifat politis maupun personal, dan
pembunuhan besar-besaran yang mengerikan lantaran gagalnya kup PKI)
jelas turut menentukan berubahnya arah pemahaman Wahib mengenai Islam.
Pada
1971, Wahib meninggalkan Yogyakarta. Tujuannya adalah Jakarta, mencari
kerja. Ia pada akhirnya diterima sebagai calon reporter majalah berita
mingguan Tempo. Ia juga ikut kursus filsafat di Sekolah Tinggi
Filsafat (STF) Driyarkara, sebuah perguruan tinggi yag didirikan oleh
seorang Jesuit Jawa, Driyarkara.
Kita orang Islam belum mampu menerjemahkan kebenaran ajaran Islam dalam suatu program pencapaian. Antara ultimate values dalam ajaran Islam dengan kondisi sekarang memerlukan penerjemahan-penerjemahan. Dan ini tidak disadari…. Karena seperti itulah kita menjadi orang yang selalu ketinggalan dalam usaha pencapaian dan cenderung ekslusif. Ahmad Wahib (17 Januari 1969)
Toleransi, pluralisme dan perdamaian sangat tidak mudah untuk bisa
didapatkan. Ada banyak orang yang secara terang-terangan mengkampanyekan
kekerasan di jalan, dan itu tidak tergantung apa agamanya.
Salah satu dari beberapa contoh yang membuktikan kalau kekerasan dan terorisme tidak selalu identik dengan salah satu agama saja adalah seperti Muhammad Syarif Pelaku Bom Di Cirebon (ANTV), dan Bom Di Norwegia (VOA Indonesia).
Agama tidak secara otomatis mendukung penganutnya untuk melakukan
kekerasan. Kesalahan penafsiran isi kitab suci dan aturan-aturan agama
menjadi pendorong kuat untuk adanya konflik.
Konflik dalam masyarakat tidak bisa dihindari, untuk itu potensi konflik
antara dua kubu yang bertikai harus dikelola hingga menjadi satu
kekuatan yang mampu menghindarkan kekerasan itu terjadi.
Video tentang Ahmad Wahib - Mencari Jiwa Part 1
Sumber:
0 Response
Post a Comment
Silahkan berkomentar mengenai posting di atas. Terima kasih telah mengunjungi Excellent Education. Semoga Bermanfaat. :)