Keberadaan Toleransi dalam Kasus Sosial

Keberadaan Toleransi dalam Kasus Sosial
Share
Malang, Indonesia.

Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya.

Kasus GKI Yasmin

Salah satu persoalan yang mengusik toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang mengarah pada pembangkangan hukum (law disobedience) apa yang telah dilakukan Wali Kota Bogor Diani Budiarto dalam kasus pelecehan putusan Mahkamah Agung (MA) dalam pendirian rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor. Pembangkangan warga negara (civil disobedience) yang dilakukan Wali Kota Bogor tersebut memiliki catatan hitam dalam sejarah politik kenegaraan.

Padahal, persoalan GKI Yasmin sudah ada putusan MA No 127 PK/TUN/2009 yang menyatakan IMB GKI Yasmin sah, sementara Pemkot Bogor telah mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menentang pendirian rumah ibadah.

Prinsip negara ini dibangun berdasarkan hukum (rechstaat), bukan kekuasaan, meskipun para petinggi negara sering kali mempolitisasi hukum dan melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Jika persoalan yang dihadapi menyangkut pendirian rumah ibadah, maka sudah ada Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 Tahun 2006 yang mengatur syarat pendirian rumah ibadah dan bagaimana upaya penyelesaian perselisihan. Pasal 13 Ayat (1) menyebutkan pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

Kemudian Pasal 13 Ayat (2) menyebutkan, pendirian rumah ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa pendirian hukum ibadah sebenarnya sudah ada aturan hukum yang mengaturnya, apalagi kebebasan beragama oleh setiap warga negara dijamin dalam konstitusi UUD 1945.

Pasal 29 Ayat (2) menyebutkan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi, negara saja memberikan jaminan terhadap warga negaranya sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Prinsip kebebasan beragama juga diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, termasuk UU No 12/2005 tentang Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).

Apalagi menyangkut perbedaan keyakinan, tidak boleh dijadikan dasar untuk bertindak sewenang-wenang dan melakukan kekerasan yang menempatkan minoritas sebagai korban, dan tidak ada pula agama mayoritas yang mendapatkan (hak istimewa). Semua agama diposisikan sejajar dan saling menghormati antarpemeluk agama.


Toleransi yang menjadi ciri Indonesia sebagai bangsa yang amat beragam dan mampu hidup berdamai di bawah Pancasila kini mulai memudar. Pemberian toleransi terhadap Ahmadiyah sebenarnya bukan kekhususan, tetapi telah menjadi pengalaman dalam ke-Indonesiaan kita. Pemberian toleransi terhadap Ahmadiyah semestinya bisa kita lakukan, jika semangat toleransi itu masih terpelihara baik dalam ke-Indonesiaan kita. 

Toleransi terhadap Ahmadiyah. Sebagai organisasi yang berbadan hukum sewajarnyalah Ahmadiyah memiliki hak-hak yang sama dengan semua kelompok yang ada di negeri ini. Tafsiran Ahmadiyah yang berbeda dengan pokok-pokok Islam arus utama tidak boleh diartikan bahwa Ahmadiyah sama sekali tak memiliki kebenaran. Dan jika kita mengakui tak ada satu komunitas yang boleh mengklaim dirinya memiliki kebenaran mutlak, maka kehadiran Ahmadiyah, pastilah memiliki kontribusi positif, apalagi itu sudah terbukti dalam sejarah republik ini. Perbedaan-perbedaan yang ada semestinya bisa dibawa dalam dialog yang jujur dan terbuka, di sanalah perbedaan dapat dimengerti, bukan dicurigai. Apalagi perbedaan tafsir memang sesuatu yang pasti ada. Karena itu memaksakan tafsiran pastilah bukan solusi terbaik untuk memusnahkan tafsiran yang dianggap salah, sebaliknya dialog justru akan membawa pada adanya saling pengertian. Jadi, pemberian toleransi terhadap Ahmadiyah sesuatu yang mesti diberikan jika memang kita memiliki toleransi yang kuat, atau solidaritas intelektual.

Sumber:

0 Response

Post a Comment

Silahkan berkomentar mengenai posting di atas. Terima kasih telah mengunjungi Excellent Education. Semoga Bermanfaat. :)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel